Artikel Utama 22.36

IMPLIKASI SOSIAL OLEH FEMINISME
Oleh : Sigit Budi Utomo

Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, di mana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin), khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian. Ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tetua-tetua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.

Efesus 5:22 Hai isteri, (tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan)
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" tetapi gaungnya kurang keras. Baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul “Vindication of the Right of Woman” yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 M sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan. Jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih. Sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Gerakan perempuan atau feminisme berusaha untuk berjalan terus. Sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah “Student for a Democratic Society” (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk “Women´s Liberation Workshop” yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib.”. Women´s Lib. mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang mereka anggap sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan. Gema pembebasan kaum perempuan ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Gerakan ini adalah i’tikad baik kaum perempuan, dan semestianya mendapat dukungan bukan saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian banyak kritik diajukan kepada mereka?
Pekerjaan sosial feminis adalah satu bentuk praktek pekerjaan sosial yang memperhatikan ketidakadilan gender dan penghapusannya sebagai titik awal untuk memberdayakan wanita, baik sebagai individu, kelompok, anggota organisasi maupun masyarakat; dan berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan wanita sebagaimana mereka mendefinisikannya (lihat Dominelli, 2002).

Berpijak pada pengalaman-pengalaman realitas wanita dan menggunakan penelitian yang membuktikan adanya diskriminasi ekstensif dan sistematis terhadap wanita, tujuan pekerjaan sosial feminis adalah membangun relasi pertolongan berdasarkan nilai-nilai egaliter yang memungkinkan wanita mengembangkan sumber-sumber, keahlian-keahlian dan keyakinan-keyakinanya dalam mengontrol dan menentukan kehidupannya.
Selain itu, adanya pandangan yang cenderung tidak setuju dengan penggunaan ‘isme-isme’ (seperti seksisme, rasisme, heteroseksisme) sebagai isue utama ketidakadilan dan penindasan, juga turut memperlemah pengaruh feminisme terhadap pekerjaan sosial. Pada tahun 1993, media massa di Amerika Serikat menyebut ‘isme-isme’ tersebut sebagai ‘lunatic tendencies’ dalam pekerjaan sosial. Selain mendesak untuk menggantinya dengan istilah yang lebih tepat, mereka juga menuntut diterapkannya kebijakan-kebijakan affirmatif yang lebih luas menjangkau segala bentuk diskriminasi. Di beberapa universitas, pusat-pusat kajian yang tadinya bernama ‘Race Equality Units’ dan ‘Women’s Units’ berganti dengan ‘Equality Units’ yang dipandang lebih menjamin kesempatan yang sama bagi semua pihak (Dominelli, 2002:102).

Namun demikian, meskipun terdapat sejumlah tantangan terjal yang menghambat perkembangan pekerjaan sosial feminis, beberapa kemajuan juga telah dicapai sejak dimasukannya unsur pembelaan terhadap wanita ke dalam kurikulum pekerjaan sosial. Teori feminis telah meningkatkan pengakuan bahwa wanita memiliki beban berat ‘welfare work’ dan karenanya mengharuskan adanya dekonstruksi pada lembaga-lembaga pelayanan sosial yang oppressive dan sexist dan menggantinya dengan lembaga-lembaga pelayanan sosial alternatif, termasuk paraktek pekerjaan sosial yang berpusat wanita (women-centred practice) (Gibbs, 2001).

Menurut Dominelli (2002:100-101), pengaruh feminisme terhadap pekerjaan sosial dapat dilihat dari semakin semaraknya isue-isue feminis mewarnai kurikulum di universitas-universitas; lembaga-lembaga pelayanan sosial; serta proses pengajaran dan relasi kerjasama dalam kuliah-kuliah, apakah antara sesama mahasiswa, antara mahasiswa dan dosen atau antara sesama dosen. Menurut Dominelli, feminisme telah:
1. Mempertanyakan dasar epistemologis pengetahuan, dalam teori maupun praktek pekerjaan sosial, serta menggarisbawahi ketidakmunculan pengalaman wanita dalam pendekatan tradisional (positivisme) ilmu sosial, termasuk pekerjaan sosial.
2. Mengekspose penggunaan bahasa sebagai cara menempatkan manusia dan menunjukkan adanya dominasi relasi, serta bagaimana merubahnya.
3. Menantang penggunaan metode-metode praktek dan teknik-teknik pengajaran yang cenderung menimbulkan peserta didik pasif. Mengusulkan agar metode dan teknik itu diganti dengan pendekatan-pendekatan yang lebih partisipatoris.
4. Menolak metodologi penelitian yang ‘buta gender’ dan merekonstruksinya dengan metodologi penelitian yang mengakui pengalaman wanita, serta lebih menekankan relasi aktif antara peneliti dan subjek penelitian.

Pengaruh teori feminis terhadap pekerjaan sosial terutama sangat kentara pada bidang penelitian pekerjaan sosial yang merupakan fondasi pengembangan teori dan praktek pekerjaan sosial. Feminisme adalah satu body of knowledge (epistemology) yang turut membentuk penelitian pekerjaan sosial, selain positivisme (scientific empirism), heurisme (naturalistic inquiry), dan postmodernism (Gibbs, 2001).
Penelitian pekerjaan sosial pada awalnya sering melibatkan survey skala besar dan membahas faktor-faktor struktural yang mempengaruhi kebutuhan dan masalah. Saat ini, fokusnya lebih spesifik membahas efektifitas berbagai metode pekerjaan sosial; analisis dinamika dan makna relasi pertolongan; serta politik identitas dan kinerja lembaga swasta.
Pengaruh teori feminis terhadap pekerjaan sosial belum sekuat yang diharapkan, karena kurang mendapat dukungan luas dari wanita dan laki-laki yang selama ini memiliki privilege. Namun demikian, sejalan dengan adanya clash about welfare dan paradigm shift dalam diskursus pekerjaan sosial, perspektif feminis telah menancapkan pengaruhnya dalam bidang praktek pekerjaan sosial, baik pada aras mikro, mezzo, maupun makro. Pekerjaan sosial feminis memfokuskan pada peningkatan keberdayaan ‘klien’ sebagai penerima pelayanan pekerjaan sosial dan berupaya merealisasikan kesejahteraan mereka sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Tiga teori arus utama feminis: liberal, radikal dan sosialis memberi kontribusi dalam memperkaya khazanah dan pendekatan praktek pekerjaan sosial: terapi individu, kelompok, komunitas, organisasi, analisis kebijakan sosial, dan penelitian pekerjaan sosial.

0 komentar:

Posting Komentar