Artikel Lepas 22.01

KRITIK TAK BERSOLUSI
Oleh : Mariana
ARTI PENTING SEBUAH TUJUAN HIDUP
Oleh : Taufik Y
PELIT SEBAGAI PELITA
Oleh : Askana Fikriana
___________________________________________

KRITIK TAK BERSOLUSI
Oleh : Mariana
“Ora gampang wong urip, yen tan weruh urip ira, uripe padha lan kebo, angur kebo daging ira kalal yen pinangana, pan menusa dagingipun, yen pinangan mesti karam”. Tidak mudahlah orang itu hidup, bila tiada tahu akan hakikat hidupnya, samalah hidupnya dengan kerbau, bahkan kerbau lebih berharga daging-dagingnya halal dimakan, sedangkan daging-daging manusia bila dimakan pasti haram. Manusia membuat sesuatu, atau memakai sesuatu untuk mencapai tujuannya. Sedangkan belum banyak manusia sadar akan sangkaning urip lan jatining urip. Sibuk dengan dirinya dan materi-materi yang menjanjikan kenikmatan dunia. Sampai-sampai manusia lupa akan jati dirinya sebagai makhluk sosial. Sejumlah pertanyaanpun muncul, Apakah manusia ? Apa tujuan yang ingin dicapai? Taukah arti hidupnya? Dan berjuta pertanyaan lain di benak dan pertanyaan bagi kita. Siapakah yang bisa menjawab dari setiap kalimat yang terucap dari benak manusia itu?

Dalam tata kemasyarakatan, setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dalam hukum formalnya. Namun ucapan dan tulisan yang menyatakan setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dari dalam hukum dan pemerintahan. Sudahkah mutlak terealisasi nyata dalam lapangan kemasyarakatan, khususnya masyarakat Indonesia? Banyak sekali contoh yang bisa menjawab dari setiap pertanyaan-petanyaan yang muncul. Namun jawaban itu tergantung dari diri manusia itu sendiri, bagaimana mengakses dan merealisasikan apa yang mereka dapat, baik dari lingkungan luar maupun lingkungan dalam. Salah satu contoh jika ada kerusakan di jalan raya atau sarana dan pra sarana umum, banyak orang yang punya daya akses kritis dengan keadaan itu. Namun kesadaran upaya masih sangat langka sekali. Banyak sekali orang-orang pintar dan cerdas, saran dan kritik pun sudah disediakan tempat untuk menampungnya. Sarana dan pra sarana untuk menampung aspirasi pun mengalami perbaikan dan kemajuan seiring perkembangan zaman. Hubungan Pemerintah dan masyarakat semakin mudah dijangkau, antara keduanya semakin mudah untuk saling mengingatkan seiring munculnya demokrasi. Dengan kemudahan yang ada, masyarakat semakin bebas kritis pada apa yang ada di lingkungannya. Namun kesadaran dalam upaya masih jarang sekali nampak dan terealisasi. Yang sangat memprihatinkan bahwa setiap orang bebas bicara dan mengekspresikan andrenalinnya. Namun apa guna tanpa adanya upaya perbaikan apa yang mereka kritisi.

Pandangan tentang suatu masalah sering kali dinilai dari satu arah. Ucapan dan kritik mudah sekali muncul terlontar dari orang untuk diri orang lain. Namun untuk diri sendiri masih sangatlah sulit. Kritis tak bersolusi selalu membayangi hampir setiap permasalahan yang ada. Kritis memang sangat dibutuhkan. Dan daya kritis seringkali dipupuk pada diri seseorang. Daya kritis dan kebebasan pun sudah diatur dalam UU bahkan dalam agama pun juga telah diatur secara jelas. Kebebasan pada setiap orang boleh digunakan dan itu tak melanggar hak. Namun jangan salah pandang. Kebebasan yang bagaimana itu juga harus jadi pertimbangan kita. Bebas yang berarah dan bertanggung jawab itulah kebebasan yang santun. Jadi pemahaman tentang diri sendiri dan semua masalah yang ada sangat perlu dipelajari agar bisa menjadi orang yang bebas bertanggung jawab. Bukan kritis yang tak bersolusi. Mau mengkritik tetapi tidak mau memberi perubahan. Sadar diri lebih baik dari pada mengkritik yang menyakitkan.
___________________________________________


ARTI PENTING SEBUAH TUJUAN HIDUP
Oleh : Taufik Y

Jika sekarang diibaratkan kita sedang berjalan di tengah hutan belantara yang gelap gulita, maka tujuan hidup kita bagai lentera yang sinarnya berkilau dari kejauhan. Dengan susah payah kita akan menuju lentera itu karena hanya itu yang kita lihat. Kita tidak peduli dengan apa yang menghadang di depan kita. Ada kalanya kaki kita tertusuk duri atau tersandung batu, namun kita terus melangkah. Ada kalanya kita terperosok ke dalam jurang, namun kita akan naik lagi dan terus melangkah. Ada kalanya tiba-tiba tembok yang tinggi menjulang berdiri kokoh di hadapan, namun kita akan tetap memanjat dan melewatinya. Setelah melihat sinar lentera itu, kita terus menuju ke arahnya.

Dengan perjuangan yang panjang, akhirnya kita dapat mencapai lentera itu. Setelah lentera ada di tangan, kita pun melihat cahaya lentera lain yang kilau cahayanya lebih besar. Dengan diterangi lentera tadi, kita melanjutnya perjalanan menuju ke arahnya, begitu seterusnya sampai akhirnya menuju ke sumber dari segala sumber cahaya, mencapai pencerahan jiwa dan mengetahui hakikat hidup yang sesungguhnya untuk kemudian menggapainya.

Tanpa cahaya lentera, kita tak bisa melihat apa-apa; yang ada hanya kegelapan. Tanpa cahaya lentera, kita tak akan tahu harus melangkah ke mana. Tanpa cahaya lentera, kita akhirnya akan berjalan dalam kehampaan dan hanya menunggu waktu tubuh ini lapuk dimakan usia sebelum akhirnya mati menyatu dengan tanah.

Donald H. Weiss dalam bukunya, “How to Control Your Life Through Self Management” atau yang dalam edisi Indonesia diberi judul “Hidup Teratur”, memberikan beberapa kata kunci kaitannya dengan “tujuan hidup” sebagai berikut :

* Tujuan C suatu titik akhir yang Anda ingin capai sebagai hasil akhir/produk akhir dari upaya Anda. Suatu pembayaran dari dan untuk upaya Anda.
* Sasaran C suatu langkah menuju pencapaian suatu tujuan, suatu tonggak, tujuan antara; suatu ukuran dari keberhasilan Anda dalam mencapai tujuan akhir dari upaya Anda.
* Pernyataan tujuan C ekspresi hasil yang diharapkan, entah itu berupa tujuan akhir atau sasaran; pernyataan itu terdiri dari target, batas waktu, dan sarana atau kondisi yang mempengaruhi pencapaian hasil.

Jadi kalau disederhanakan, hendaknya kita punya tujuan-tujuan kecil (tujuan antara) yang akan mengantarkan kita pada pencapaian tujuan tertinggi hidup kita. Dan yang jelas tujuan itu harus jelas, realistis, memiliki batas waktu pencapaian sebagai ukuran keberhasilan dan memiliki antisipasi terhadap kemungkinan adanya hambatan karena hidup ini penuh tantangan. Setelah mencapai tujuan antara tersebut, kita harus terus melangkah untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Begitu seterusnya hingga kita mencapai tujuan hidup kita yang teragung.
Dengan adanya tujuan hidup yang jelas, kita bisa melangkah dengan pasti tak peduli seganas apapun jalan yang harus dilalui. Banyak kisah yang dapat kita baca, yang mana seseorang rela menjadi seorang office boy, namun beberapa tahun kemudian kita mengenalnya sebagai seorang dosen, trainer, pengusaha, dan juga motivator. Atau seseorang yang mau menjadi seorang salesman jalanan yang harus mengetuk pintu-pintu dan ribuan kali ditolak, namun beberapa tahun kemudian kita mengenalnya sebagai praktisi bisnis, investor, dan pendidik yang karya-karyanya menginspirasi jutaan manusia di dunia. Tujuan hidup yang mengkristal membuat kita tetap beroleh cahaya walau dunia kita seakan-akan sedang gelap gulita. Dan ketika mentari bersinar kita akan tersenyum bahagia karena menyadari kita masih berada di jalan yang kita tuju. Tidak seperti mereka yang hidup tanpa tujuan, setelah mendapati jalannya berujung semak belukar, mereka berbalik arah mencari jalan lain yang lebih mudah padahal jalan yang baru itu tak berujung. Atau mereka yang mendaki tangga, setelah lama nian mendaki tingkat demi tingkat, sampai di atas baru mereka sadar tenyata tangga yang mereka daki bersandar di dinding yang salah.

Segera tetapkan tujuan hidup Anda dan bergeraklah untuk meraihnya.
__________________________________________

PELIT SEBAGAI PELITA
Oleh : Askana Fikriana

Mungkin anda akan bilang kalau kata-kata di atas adalah salah dan tidak boleh dikatakan. Ya, jelaslah, wong pelit kok dijadikan pelita?, tapi tunggu dulu, jangan berfikir kalau ungkapan atau kata-kata di atas adalah sebagai patokan atau semacam peribahasa yang notabennya merupakan hal-hal yang baik dan positif yang dapat dijadikan pemacu semangat untuk menggapai sesuatu. Seperti peribahasa ”Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, yang maksudnya pasti sudah tahu kan !!!.

Coba kita melihat pada diri kita atau sekitar kita, sudahkah kita terlepas dari ”pelit”, atau tepatnya dari sifat pelit. Buat sebagian besar kalangan, tentu mereka tidak mau dibilang pelit. Tentu dong !. Tapi kalau kita tidak mau dibilang pelit, kenapa kita masih sering berfikir dua kali untuk saling membantu? Misalnya, ada orang yang meminta bantuan kepada kita, entah itu berupa bantuan jasa ataupun materi, kita sering dengan berbagai alasan untuk menolak memberi bantuan (tentunya kita mampu dalam melakukannya), dan tentunya dengan sikap dan tutur bahasa menolak yang manis agar orang yang meminta bantuan kepada kita tidak sakit hati. (wah, bilang soal sakit hati, tentu tak bisa ditebak, yang jelas penolakan ini akan membuat kecewa).

Padahal mamberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan merupakan suatu kesempatan besar. Lho kok ? Kesempatan besar macam apa ? Kalau bisa diambil suatu arti, jika kita masih dimintai bantuan oleh orang lain, berarti kita masih dihargai dan menjadi orang berharga. Ini merupakan suatu kehormatan yang tiada tara. Pernahkah kita berfikir, masih bergunakah kita untuk orang lain ? Coba ita mengingat dalam satu hari berapa kali kita berguna untuk orang lain? Sepuluh kali, delapan kali, lima kali, atau tidak sama sekali? Jadi maukah kita kehilangan kesempatan besar ini?.

Bilang soal pelit, pelit itu tidak hanya soal materi, tapi juga soal waktu. Pelit waktu sama artinya dengan tidak bisa membagi waktu. Soal ini lebih menerangi hari-hari kita layaknya sebagai pelita. Sudah berapa banyak orang yang kita kecewakan? Kecewa karena kita tidak bisa membagi waktu. Sudah berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia? Untuk melamun, menghayal, ngobrol (yang tentu saja ngobrol hal yang tidak penting), untuk tidur melulu, dan lain-lain, Siapa yang rugi? Pelit waktu inipun menjadi penyakit, yang tanpa disadari akan membunuh kreativitas kita. Contohnya, waktu kita tidak ikut rapat-rapat UKM, tidak mau menghadiri perkumpulan organisasi, tidak bisa ini, itu, karena berbagai alasan ini, itu pula.

Intinya kenapa saya sebut pelit sebagai pelita, karena sikap pelit ini masih menyelimuti hari-hari kita. Baik itu pelit materi, maupun pelit non-materi. Memang selama ini kita tidak sadar atau malah tidak mau sadar dengan hal ini?

Jadi harapannya setelah membaca rubrik ini, kita akan menjadi ringan tangan, menjadi orang yang lebih berguna serta yang tidak boleh terlupa yaitu selalu siap dan sedia untuk mengikuti setiap acara yang ada di UKM (termasuk kalau diminta untuk kumpul rapat). Juga selalu aktif di setiap kegiatan atau organisasi yang kita ikuti. So, janganlah kita hanya sebagai (AI) alias Angka Ikut saja. Apa tidak malu, berpelitakan pelit ? Enakan berpelitakan cahaya, ya nggak ?.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

SIP MAS

mas joko mengatakan...

ini alamat emailnya mana bossss

Posting Komentar